Senin, 21 Februari 2011

Kota Mata Angin

“Anda berjalan saja terus ke timur, lalu setelah perempatan kedua anda belok ke utara. Rumahnya berwarna kuning di kanan jalan menghadap ke Barat.” 

Mungkin hal ini terasa familiar di telinga kita.Ini adalah gambaran ketika kita menanyakan suatu alamat, lokasi, atau membutuhkan petunjuk jalan kepada masyarakat sekitar . Sekilas ini mungkin tampak biasa saja dan tidak ada yang aneh. Terlebih bagi warga masyarakat Jogjakarta itu sendiri. 

Namun bagi mereka yang berasal dari luar Jogja mungkin justru akan merasa kesulitan. Karena hal seperti ini sebenarnya tidak biasa. Di kota lain, jarang sekali memberikan petunjuk jalan dengan arah mata angin sebagai patokan. Umumnya menggunakan arah kiri-kanan-lurus dan bukan timur-selatan-barat-utara seperti halnya di Jogjakarta ini. Atau dalam kasus lain seperti di Jakarta misalnya, menggunakan arah kota misalnya “ambil jalan menuju Depok terus belok ke kiri setelah Gerbang tol”. 

Bagi masyarakat Jogja sendiri, penggunaan arah mata angin sebagai patokan jauh lebih nyaman dan lebih mudah dipahami. Namun bagi mereka yang buta arah atau berasal dari luar kota justru harus melakukan banyak adaptasi menghadapai hal ini. Tulisan ini mencoba membahas beberapa teori tentang kemungkinan asal muasal mengapa Jogja bisa menjadi Kota Mata Angin dengan mencoba merekonstruksi cara berpikir masyarakat. 




Segi Empat 

Ada sebuah anekdot yang mengatakan di Jogja jika berbelok sebanyak empat kali akan kembali ke tempat semula. Anekdot ini sebenarnya merupakan bahasa lain yang mengatakan bahwa jalanan di Jogja seolah-olah berbentuk segi empat-segi empat yang tertata rapi. Sehingga memudahkan masyarakat untuk mencari jalan alternatif. 

Anekdot lain adalah jika kita tersasar di kota Yogyakarta, jalan saja ke utara/timur/selatan/barat terus hingga bertemu ringroad, barulah kita akan menyadari jalan pulang kita. Jika kita cermati, ternyata Kota Yogyakarta termasuk kota yang dibangun secara rapi. Jalan-jalan yang mendekati tegak lurus dan sejajar satu sama lain. Serta penataan rumah-rumah yang terkesan membentuk blok-blok segi empat. 

Bisa jadi ini semua merupakan peninggalan pembangunan Belanda, mengingat dari dahulu Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota besar pada masa lalu. Namun bisa jadi persepsi masyarakat tentang Jogja itu sendirilah yang membuat kota ini seolah hanya memiliki dua jalan, yaitu utara-selatan dan timur-barat. Meski pada prakteknya tidak teoat membentuk garis sejajar dan menghadap ke utara selatan atau timur barat secara persis. 




Sawah-Sawah 

Teman dalam sebuah diskusi berpendapat bahwa bentuk kota Yogyakarta yang cenderung kotak-kotak ini dipengaruhi oleh mata pencaharian masyarakatnya yaitu bertani. Di Jogja, selain tanahnya relatif subur, daerahnya juga termasuk landai meski ada kecenderungan miring ke selatan. 

Kondisi tersebut membuat masyarakat membuat sawah dengan ukuran segi empat sempurna, berbeda dengan di daerah aliran sungai yang sawahnya mengikuti alur sungai atau di pegunungan yang bentuk sawahnya mengikuti alur tanah di pegunungan yang tidak rata. 

Kemudian seiring berjalannya waktu, tanah-tanah pertanian tersebut beralih fungsi menjadi pemukiman.Namun dengan tidak mengubah bentuk petak-petak yang ada, maka pemukiman yang dibangun pada akhirnya mengikuti pola sawah yang berpetak-petak dengan bentuk persegi. Hingga akhirnya terbentuklah jalanan dan pemukiman di Jogja yang relatif membentuk persegi. 




Gugon Tuhon 

Di masyarakat Jogjakarta, terdapat sebuah mitos dimana kita tidak boleh membangun rumah menghadap utara. Ada yang mengatakan agar tidak menyamai Keraton, sebagian lainnya mengatakan agar tidak menghadap Merapi karena nanti dianggap menentang. 

Bisa jadi, mitos inilah yang turut mendorong masyarakat menciptakan kota mata angin ini. Berdasar kepercayaan untuk tidak membuat rumah menghadap utara, maka dalam membangun rumahnya masyarakat benar-benar memperhatikan aspek arah dengan seksama. Akibatnya rumah-rumah yang dibangun misalnya menghadap timur atau barat tepat (tidak miring). 

Dari rumah-rumah yang menghadap ke arah mata angin secara tepat tersebut lalu muncul pula jalanan di depan pemukiman-pemukiman tersebut yang nantinya mengarah secara tepat pula ke selatan-utara atau timur-barat. 

Selain itu kepercayaan masyarakat tentang adanya garis imajiner antara pantai selatan, keraton, dan Gunung Merapi yang ditandai oleh Tugu Jogja dan Panggung Krapyak. Garis imajiner tersebut membentuk sebuah jalan utama dengan arah utara- selatan. Kemudian jalan tersebut menginspirasi untuk membuat jalan-jalan lain yang juga sejajar dengan garis tersebut sehingga membentuk jalanan yang rapi. 




Gunung Merapi 

Kemungkinan lainnya adalah semua ini merupakan pengaruh dari keberadaan Gunung Merapi itu sendiri. Bukan secara mistis, tetapi hal ini dapat dijelaskan dengan teori Psikologi dari Edward C. Tolman (1886-1959). Penelitian Tolman menggunakan tikus dan labirin menghasilkan konsep yang biasa disebut dengan place learning dan response learning. Penelitian tersebut menghasilkan suatu konsep yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa makhluk hidup lebih mudah memahami lokasi suatu tempat apabila ada petunjuk tertentu. Dalam hal ini Gunung Merapi yang bisa terlihat dari hampir seluruh wilayah Yogyakarta menjadi semacam landmark atau ikon untuk menunjukkan arah utara. 

Setelah adanya patokan yan pasti tentang arah utara, maka masyarakat merasa penunjukan arah melalui arah mata angin jauh lebih akurat dibanding dengan petunjuk kiri-kanan karena mata angin sifatnya tetap dan tidak relatif. Selain itu masyarakat kemudian juga mengasumsikan bahwa jalanan yang mengarah ke Merapi otomatis menghadap ke utara dan begitu pula jalanan yang sejajar dianggap mengarah ke timur-barat meski pada prakteknya tidak sepenuhnya benar. 




Penutup 

Ini semua merupakan asumsi-asumsi atau kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya fenomena Yogyakarta sebagai kota mata angin. Namun bagaimanapun juga, penggunaan mata angin jauh lebih akurat dalam menunjukkan lokasi dibanding instruksi-instruksi yang bersifat relatif. Fenomena menarik ini mungkin bisa lebih didalami dan apabila memungkinkan, diterapkan dalam pembangunan kota-kota di masa mendatang.

0 comments: