Belajar (gasse.deviantart.com) |
Perbedaan Fundamental
Di AS ilmu pengetahuan dibagikan menjadi dua jenis yaitu Art dan Science sedangkan di Indonesia pembagian ini lebih dikenal sebagai Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial. Keduanya sebenarnya memiliki karakteristik fundamentalis yang berbeda. Ilmu-ilmu alam mempercayai adanya kebenaran mutlak yang bersifat objektif, dimana kebenaran tersebut dapat diterima oleh semua manusia tanpa terkecuali. Misalnya batu yang dilepaskan akan jatuh ke bawah. Di belahan bumi manapun fenomena tersebut akan terus berulang tapa adanya perbedaan. Itulah yang disebut kebenaran mutlak yang bersifat objektif.
Lain halnya ilmu-ilmu sosial, meski hingga saat ini terdapat kecenderungan para ahli untuk mencari sebuah kebenaran objektif yang bebas nilai dan budaya, akan tetapi pada akhirnya para ahli tetap dipaksa untuk mengakui bahwa sangat sulit atau mustahil untuk menemukan satu kebenaran mutlak yang bersifat objektif. Ilmu sosial memang erat kaitannya dengan objektivitas, sehingga dalam ilmu sosial tidak dikenal adanya satu kebenaran mutlak tetapi adanya kebenaran yang beragam merunut dari berbagai versi.
Sehingga dalam pembelajaran ilmu sosial sangat diperlukan adanya ragam versi dalam penguasaan ilmu tersebut. Ilmu sosial harus dikembangkan dari subjektivitas masing-masing yang berasal dari beragam nilai dan budaya masing-masing. Hal ini diperlukan untuk memberikan gambaran secara lengkap dan terperinci terhadap keadaan yang ada serta demi mengembangkan keilmuan itu sendiri.
Kegagalan Sistem Ajar
Meski demikian kurikulum dan sistem pembelajaran di Indonesia saat ini gagal memahami adanya perbedaan fundamental tersebut. Setelah tumbangnya era Islam, ilmu pengetahuan alam dan tekonologi saat itu banyak yang diboyong ke masyarakat Eropa dan dikembangkan. Sejak masa itu disebutlah era reinassance dimana setelahnya sejarah mencatat AS-Eropa menjadi pusat peradaban dunia ditandai dengan kemajuan teknologi yang dimiliki.
Asia yang saat itu tertiggal kemudian mencoba belajar dari AS-Eropa. Termasuk salah satunya adalah Indonesia. Pada awalnya ilmu-ilmu yang diimpor tersebut merupakan ilmu-ilmu alam seperti teknik dan kedokteran. Hingga pada akhirnya muncul impor ilmu pengetahuan secara besar-besaran hingga saat ini dan tidak sebatas ilmu alam tetapi juga ilmu sosial. Impor ini dilakukan dengan metode copy cat yang masuk dalam kurikulum pembelajaran Indonesia.
Fenomena impor pengetahuan ini tentunya tidak menjadi masalah dalam ranah ilmu sosial dengan anggapan utamanya tentang kebenaran mutlak yang objektif. Akan tetapi tanpa disadari impor ilmu pengetahuan ini adalah tindakan yang salah dalam ranah ilmu sosial. Hal ini dikarenakan ranah ilmu sosial tidak mengenal adanya kebenaran ilmu mutlak sehingga ilmu-ilmu impor tersebut sangat rentan terhadap ketidakcocokan kondisi masyarakat pegimpor ilmu tersebut.
Masalahnya adalah sistem ajar ranah ilmu alam dan ilmu sosial disamakan. Ilmu alam dikembangkan dengan metode evaluasi dan inovasi. Langkah pertama adalah mengejar ketertinggalan dengan sebanyak mungkin menguasai ilmu-ilmu impor tersebut. Sedangkan langkah kedua adalah sekedar mengawinsilangkan dan menambahi atau inovasi dari ilmu-ilmu tersebut untuk menciptakan ilmu baru.
Begitu juga dalam ranah ilmu sosial. Pembelajaran didasarkan pada buku teks impor yang tentunya juga berisi ilmu pengetahuan impor. Ditambah dengan metode pembelajaran yang sifatnya evaluatif hanya sebatas melihat kemampuan siswa dalam menyerap pengetahuan impor tersebut. Pada akhirnya metode semacam ini hanya melahirkan buku-buku yang berjalan.
Diploma Disease
Cara pembelajaran seperti ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah dalam level pendidikan diploma, SMA, dan kebawah. Namun menjadi masalah yang sangat berarti dalam tataran tingkat sarjana dan seterusnya. Hal ini dikarenakan sifat pendidikan sarjana yang bertujuan untuk mengembangkan keilmuan (baca: Mengenal Pendidikan). Celakanya kekurang pahaman terhadap perbedaan ini menimbulkan adanya pragmatisme pendidikan pada tingkatan sarjana yang justru memperparah keadaan ini (baca: Pragmatisme Pendidikan)
Maka dari itu salah seorang teman saya mencetuskan sebuah istilah yang disebut sebagai Diploma Disease. Istilah ini merujuk pada kecenderungan para mahasiswa tingkat sarjana yang justru menerapkan sistem pembelajaran model diploma yaitu sebatas copy cat terhadap ilmu yang sudah ada daripada mencari gagasan pemahaman secara keseluruhan. Dalam bahasa kasarnya, adanya kecenderungan mahasiswa untuk menghafal buku ajar demi persyaratan akademik (nilai) dibanding kecenderunngan untuk mencari pemahaman dan mengembangkan ilmu sendiri.
Jauh-jauh hari salah seorang peneliti Belanda yaitu Niels Mulder telah mengkritik metode pembelajaran yang kurang tepat diterapkan dalam ranah ilmu sosial ini. Mulder mengkritik bagaimana para mahasiswa Indonesia lebih diarahkan kepada penguasaan teori-teori asing yang kurang tepat terhadap budaya mereka dibandingkan dengan mengembangkan gagasan mereka sendiri. Akibatnya ilmu pengetahuan ini stagnan dan tidak berkembang serta kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dari ilmu-ilmu tersebut seringkali merusak tatanan sosial yang telah ada.
Epidemi Akut
Celakanya penyakit ini telah menjadi epidemi akut di wilayah Asia. Pola-pola semacam ini ditemukan tidak hanya di Indonesia tetapi juga pada pembelajaran di negara-negara Asia lain semisal China dan Jepang. Pola-pola pembelajaran ini telah menjadi trend tersendiri dalam dunia pendidikan di Asia. Namun pola seperti ini kurang memberikan ruang untuk kelahiran ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru namun lebih sebatas inobasi dai apa yang telah ada. Jika kita lihat lebih teliti misalnya kita akan melihat bahwa meskipun Jepang dan China sudah cukup maju dalam bidang IT namun teknologi yang mereka hasilkan lebih ke arah inovasi dibandingkan sebuah penemuan baru.
Jika hal ini terus dibiarkan akan menjadi permasalahan tersendiri terutama dalam ranah ilmu sosial. Terlebih karena kebanyak ilmu yang telah ada saat ini berasal dari basis masyarakat yang memiliki nilai dan kebudayaan yang cukup berbeda. Disinilah kita perlu untuk melahirkan sebuah gagasan-gagasan baru yang lahir dari subjektivitas nilai dan kebudayaan kita sendiri. Karena jika bukan ilmu yang berubah maka nilai dan budayalah yang akan mengalami perubahan.
Maka perlu adanya perubahan fundamental dalam sistem pendidikan ilmu sosial saat ini. Ruang-ruang untuk gagasan dan ide segar perlu dibuka lebih luas. Mahasiswa harus didorong untuk berpikir dan menganalisis, jangan sebatas menghafal ilmu-ilmu yang telah ada. Sistem penilaian pembelajaran harus didasarkan pada originalitas dan logika gagasan daripada literatur dan penguasaan teori (baca: Siapa Bodoh). Pola penilaian seperti ini akan memunculkan pemikir-pemikir ulung di masa mendatang alih-alih buku berjalan.
Selain itu perlu kiranya menilik kembali ilmu-ilmu dari buku-buku tua karya asli para ahli Indonesia daripada memenuhi rak buku perpustakaan denganbuku impor. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan adanya gagasan-gagasan asli yang telah dicentuskan sebelumnya dan menunggu untuk dikembangkan. Ini semua memerlukan sebuah kemauan yang besar dari pemilik kebijakan.
0 comments:
Posting Komentar