Rabu, 23 Maret 2011

Pragmatisme Pendidikan

prag·ma·tis a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dng nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dng pragmatism 

Dunia saat ini terasa semakin cepat berputar. Perkembangan zaman yang semakin cepat tentu juga memberikan pengaruh pada penduduk dunia. Saat ini semua hal semakin dituntut untuk serba cepat, sehingga kinerja harus semakin efektif dan efisien. Oleh karena itu kita menjadi semakin pragmatis dalam menghadapi masalah yang ada. 

Pragmatis sendiri jangan selalu dikonotasikan dalam hal yang sifatnya negatif. Pragmatis berarti kita melakukan sesuatu secara praktis, dalam bahasa lain disebut sebagai efektif dan efisien. Pragmatis sendiri juga banyak membantu manusia dalam memecahkan masalah-masalah yang rumit. 

Namun seringkali pragmatis menerobos nilai-nilai norma dan budaya yang ada. Sehingga terkadang dianggap sebagai sebuah bentuk penghalalan segala cara. Hal lain yang dipertanyakan adalah kebermanfaatan itu untuk siapa. Yang terjadi justru adalah kebermanfaat untuk diri sendiri atau kelompok tertentu sehingga membentuk masyarakat pragmatis-egois.

Tuntutan Pendidikan 
Akhir-akhir ini institusi pendidikan semakin dituntut untuk menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Pertanyaannya adalah apa indikator dari kualitas itu sendiri? Seringkali berkualitas didefiniskan sebagai sesuai dengan kebutuhan pasar. Jadi masyarakat dididik untuk menjadi individu yang siap dimanfaatkan oleh pasar. 

Penilaian masyarakat dan pengguna sumber daya manusia ini pada dasarnya sama, perguruan tinggi dituntut memberikan ilmu-ilmu yang sifatnya praktis dan langsung berguna dalam menyelesaikan masalah yang ada. Dalam kata lain institusi pendidikan dituntut semakin pragmatis. Karena menurut mereka lulusan SMA dan Sarjana saat ini memiliki kemampuan sumber daya yang kurang dalam menerapkan ilmu-ilmu demi kepentingan pasar. 

Maka yang menjadi momok dari semua ini adalah perguruan tinggi. Karena pamor lulusan sekloah menengah atas sudah mulai turun di pasar perusahaan kelas elit. Para lulusan perguruan tinggi baik itu sarjana maupun diploma diharapkan bisa diterima oleh pasar dan sesuai kebutuhan dengan baik. 

Tuntutan in sendiri bukan hanya berasal dari pengguna sumber daya yang bersangkutan, tetapi juga dari masyarakat sendiri. Dalam kata lain masyarakat semakin menuntut agar perguruan tinggi semakin pragmatis. 

Terkadang ini justru mencederai ilmu itu sendiri. Ilmu-ilmu menjadi disederhanakan dan berkurang nilainya karena hanya dituntut menemukan cara-cara praktis tanpa benar-benar memahami esensi dan konsekuensi dari tindakannya tersebut. Ilmu juga dikembangkan dan dipelihara sebatas kemanfaatan secara langsung dari ilmu itu sendiri, bukan atas dasar pencarian kebenaran. 

Maka kini pengelola perguruan tinggi menghadapi sebuah dilematis. Mereka berada di tengah keputusan untuk menentukan mana yang lebih utama: ilmu-ilmu yang sifatnya praktik atau justru yang sifatnya esensial kebenaran.Semua keputusan tersebut nantinya dirumuskan dalam bentuk kurikulum.

Salah Kaprah 
Di Indonesia, dikenal tiga macam bentuk sekolah menengah atas. Yang pertama adalah SMA yang bertujuan menyiapkan sumber daya manusia yang siap meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua adalah SMK, sekolah menengah yang bertujuan menyiapkan sumber daya manusia siap kerja yang terampil, dan yang terakhir adalah MAN yang mendidik sumber daya manusia dengan menekankan pada nilai moral keagamaan. 

Perguruan Tinggi pun memiliki berbagai macam program, beberapa diantaranya adalah Program Sarjana dan Diploma. Seperti halnya SMA, program Sarjana bertujuan menyiapkan sumber daya manusia yang siap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan Diploma disiapkan sebagai tenaga kerja terampil bagi pasar. 

Seringkali masyarakat tidak menyadari akan hal ini sehingga menjadi salah kaprah. Masyarakat mulai menilai kurikulum pendidikan SMA dan Sarjana terlalu teoritis dan pragmatis serta kurang bermanfaat dalam dunia kerja. Berbeda dengan kurikulum SMK dan Diploma. Namun di sisi lain paara pemilik modal cenderung lebih suka memanfaatkan tenaga kerja dengan ijazah Sarjana karena menganggap strata mereka lebih tinggi. 

Terlebih dari itu yang perlu dicermati bukanlah strata atau kedudukan, melainkan nilai kegunaan. Jika memang menginginkan sumber daya siap kerja seharusnya para pemilik modal lebih merekrut lulusan Diploma atau SMK karena mereka memang disiapkan untuk itu. Sedangkan Sarjana dan SMA sendiri memang dari awal tidak disiapkan untuk bekerja. 

Ibarat kata Sarjana dan Diploma memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi ilmu. Mereka yang berada di jalur Diploma atau SMK misalnya, adalah orang-orang yang memanfaatkan ilmu untuk kebermanfaatan atau nilai-nilai praktis yang langsung berguna. Sedangkan mereka yang berada di jalan Sarjana atau SMA adalah mereka yang haus akan ilmu pengetahuan, mereka mencari ilmu bukan hanya sekedar pemanfaatan secara praktis namun mencari esensi dari kebenaran itu sendiri. 

Memang terkadang pencarian kebenaran ini lebih bersifat teoritik dan bukan praktis. Oleh karena itu dibutuhkan sinergitas antara Sarjana dalam mengembangkan ilmu yang ada dengan Diploma yang bertugas menerapkan ilmu yang telah ada ke dalam bentuk nyata. 

Semua telah memiliki tempatnya masing-masing tinggal bagaimana penempatannya. Akan menjadi sebuah masalah bila adanya kesalahpahaman tentang ini semua sehingga menimbulkan penempatan yang salah. Sarjana dan Diploma hanya dinilai sebatas strata pendidikan dan sosial bukan karena kemanfaatannya. 

Akibatnya orang berbondong-bondong mencapai satu tujuan yaitu Sarjana tanpa benar-benar memahami fungsi dari masing-masing. Ketika Program Sarjana tidak menghasilkan produk seperti yang mereka harapkan lalu Perguruan Tinggi dituntut untuk menerapkan nilai kepraktisan dalam kurikulumnya. 

Jika ini dibiarkan, maka ke depan ilmu hanya akan berkembang sesuai kebutuhan para pemilik modal (kapitalis) dan bukan atas pencarian kebenaran itu sendiri. Prgoram Sarjana dan Diploma hanya masalah strata sosial dan bukan kekhususan. Pada akhirnya semuanya hanya akan melebur menjadi satu program yaitu program pendidikan berasas pragmatisme.

0 comments: