Sabtu, 13 Juni 2009

liberalisasi pancasila?


Pada zaman Soekarno, kita tidak perlu memperdebatkan dan bertanya-tanya apa itu Pancasila dan bagaimana menerapkannya. Karena mereka yang menciptakan Pancasila masih hidup dan mereka jugalah yang menjalankan bangsa ini. Pada zaman Soeharto, definisi Pancasila diseragamkan dalam bentuk nyata antara lain P4 dan sebagainya, meskipun pada prakteknya banyak pihak yang menilai bahwa saat itu Pancasila hanya dterjemahlkan sebagai instrumen pendukung kekuasaan presiden pada saat itu.

Setelah zaman reformasi, Pancasila agak dilupakan karena dalam semangat pembaharuan yang diusung reformasi, terdapat pula semangat untuk mengusung ideologi baru pula. Namun pada kenyataannya Pancasila meruppakan harga mati dan tidak dapat digantikan dalam konteks NKRI ini.

Setelah terlupakan selama euforia reformasi, maka Pancasila bagi sebagian orang direnungkan kembali. Kini wacana yang menguat adalah bahwa Pancasila itu fleksibel dan dapat ditafsirkan dalam berbagai pengertian dan dapat disesuaikan dengan trend ideologi yang ada saat ini. Misal saat ini yang ngetrend adalah ideologi Sosialis maka Pancasila akan diterjemahkan dalam konteks condong ke sosialis, atau jika trend saat ini adalah ideogi liberal maka yang terjadi adalah Pancasila yang condong ke liberalis??

Adalah sebuah kata-kata dari seorang ketua partai politik yang membuat saya merenungkan apa sesungguhnya yang terjadi. Dia dalam sebuah acara ngobrol ringan di pagi hari di sebuah televisi swasta mengatakan, "ketika terciptanya swasembada pangan, ketika perekonomian meningkat, ketika....dst maka sebenarnya itulah Pancasila".

Alhamdulillah saya memiliki pandangan yang cukup negatif terhadap komplotan pedagang Indomi ini sehingga saya lebih termotivasi untuk kritis terhadap mereka. Saat itu dikepala saya langsung terlintas pikiran saya, "apakah sedangkal itu dia mengartikan Pancasila? apakah Pancasila diartikan sebagai perut kenyang hidup senang? Alhamdulillah saya tidak memilih partai ini." Memang trend saat ini adalah adanya kecenderungan bagi partai baru (partai reformasi) untuk mengusung angin perubahan. Meskipun mereka tidak mengubah Pancasila dan UUD 1945, mereka mencoba menerjemahkan Pancasila sesuai perkembangan zaman dan tentu saja dengan membawa phobia Pancasila Soeharto. Sebagai koontra dari partai-partai tersebut adalah partai-partai yang berusaha mengembalikan UUD1945 dan Pancasila sebagaimana mestinya.

Kembali kepada penerjemahan, seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, sebagian dari menerjemahkan Pancasila sesuai perkembangan zaman menerjemahkannya denngan memasukkan nilai-nilai liberal dan kapitalis yang konon katanya sedang ngetrend saat ini (meskipun krisis ekonomi 2008 membuktikan sebaliknya). Wajar saja jika mereka dalam menerjemahkan Pancasila memasukkan nilai-nilai tersebut karena pendidikan kita lah yang mencekoki nilai-nilai tersebut.

Pertanyaan yang mendasar adalah sebenarnya bagaimanakah kita harus menerjemahkan Pancasila? Apakah benar Pancasila dapat digunakan dalam bentuk multitafsir sehingga dapat tercipta Pancasila-Kapitalis? Ataukah kita yang tidak mampu menerjemahkan Pancasila tersebut? Sayang mereka yang mencipta tidak sempat menjelaskan kepada kita sebelum mereka meninggalkan surga ini.

0 comments: