Konon, kebahagiaan adalah tujuan utama dari kehidupan. Manusia senantiasa berusaha dan bekerja untuk meraihnya. Kebahagiaan ibarat keadaan hidup yang paling ideal dan menyenangkan. Namun apa sebenarnya kebahagiaan itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahagia sebagai keadaan senang dan tentram (bebas dari sesuatu yang menyusahkan). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa bahagia adalah suatu keadaan dan bukan benda. Sedangkan kebahagiaan berarti kesenangan atau ketentraman itu sendiri. Jadi secara harafiah bahagia atau kebahagiaan merupakan suatu keadaan.
Sayangnya tidak semua orang bisa merasakan keadaan tersebut. Maka kemudian para ilmuwan mencoba mencari-cari apa sebenarnya yang membuat manusia mengalami kebahagiaan. Salah satu pendekatan yang mempelajarinya adalah Indigenous Psychology yang sedang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada.
Dengan metode open questionnaire mencoba menggali hal-hal yang membuat orang berbahagia. Dari pertanyaan tentang peristiwa yang paling membuat seseorang bahagia, maka ditariklah poin-poin untuk mencari tahu apa sebenarnya faktor-faktor penyebab kebahagiaan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa untuk masyarakat Indonesia situasi-situasi yang paling membuat bahagia adalah yang erat kaitannya dengan hubungan sosial. Hal ini cukup masuk akal mengingat Hoffstede mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang cenderung kolektif dan memiliki ikatan atau hubungan sosial yang kuat.
Seperti telah didefinisikan secara harafiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa bahagia juga berarti bebas dari suatu keadaan yang menyusahkan. Maka penelitian tersebut juga memfokuskan untuk mencari tahu peristiwa-peristiwa yang membuat orang merasa sedih dan marah. Hasilnya pun tidak jauh berbeda dimana peristiwa yang berkaitan dengan faktor hubungan sosial menjadi yang paling banyak.
Pertanyaannya apakah apabila kita memiliki hubungan sosial yang baik maka kita akan merasa bahagia? Dalam pendekatan Indigenous Psychology dikenal istilah understanding people in their context. Artinya bahwa tiap-tiap manusia harus dipahami sesuai keadaannya atau konteksnya masing-masing salah satunya adalah masalah kultural. Meski penelitian di Indonesia menunjukkan situasi yang berkaitan dengan hubungan sosial seringkali berhubungan erat dengan kebahagiaan tetapi bukan berarti itu dapat digeneralisasikan.
Dalam budaya yang berbeda bisa jadi orang bahagia atas situasi yang jauh berbeda. Masyarakat Indonesia mungkin bisa saja merasa bahagia ketika dalam situasi-situasi yang berkaitan dengan hubungan sosial, tetapi bagi masyarakat lain di Eropa misalnya dimana hubungan sosial dianggap sebagai suatu hal yang sifatnya privasi dibanding urusan pekerjaan mungkin kebahagiaan mereka sedikit banyak lebih terpengaruh pada hal-hal yang sifatnya prestasi misalnya atau capaian.
Dalam konteks yang sama pun masih diperdebatkan apakah temuan ini bisa digunakan secara terbalik. Misalnya saja dari data diketahui bahwa pada masyarakat Indonesia seringkali situasi yang sangat membahagiakan adalah situasi-situasi yang berhubungan dengan hubungan sosial dan prestasi. Maka apakah masyarakat Indonesia yang memiliki prestasi dan hubungan sosial yang bagus berarti dirinya bahagia? Apakah jika tidak memiliki hal-hal tersebut berarti kita tidak bahagia?
Dalam paradigma ini kebahagiaan dipandang sebagai sesuatu yang bersyarat. Individu akan merasa bahagia dalam situasi-situasi tertentu dan jika tidak mengalami situasi tersebut maka individu menjadi tidak bahagia. Kebahagiaan dianggap sebagai sebuah benda abstrak yang harus dicari dan didapatkan padahal pada definisi awal dijelaskan bahwa bahagia merupakan suatu keadaan, bukan benda. Jikalau memang kebahagiaan dibatasi oleh waktu-waktu atau keadaan-keadaan tertentu, maka kebahagiaan tersebut hanya dipandang sebagai emosi atau suasana hati (mood).
Menurut pendapat saya, kebahagiaan adalah sesuatu yang sifatnya personal dan berasal dari dalam diri. Sehingga meskipun kita berusaha menghadirkan faktor-faktor atau situasi-situasi yang seringkali membuat orang sangat bahagia pada suatu individu tertentu maka bukan berarti individu tersebut akan merasakan bahagia atas semua itu.
Banyak buku-buku dan pakar yang mencoba mengajarkan manusia agar hidup bahagia. Kebanyakan dari mereka menjelaskan tentang konsep kebahagiaan yang tidak bersyarat. Kebahagiaan diperoleh tidak dengan mendapatkan suatu keadaan atau situasi tertentu tetapi dengan mengubah cara pandang kita terhadap keadaan kita saat ini. Dalam konsep kebahagiaan tak bersyarat ini kebahagiaan dipandang sebagai suatu keadaan yang konstan dan tidak hanya muncul pada situasi-situasi tertentu saja.
Sebuah falsafah Jawa yang disebut Ngelmu Begja yang disusun oleh Ki Ageng Suryomentaram juga menjelaskan tentang dinamika rasa senang dan susah. Rasa senang dan susah diperoleh dari selisih antara kenyataan dan harapan. Jika kenyataan lebih besar daripada harapan maka akan timbul rasa senang dan sebaliknya. Intinya untuk dapat selalu merasakan kebahagiaan kita harus menekan harapan serendah mungkin sehingga apapun kenyataan yang kita dapatkan akan membuat kita merasa senang. Konsep ini dalam falsafah Jawa hampir mirip dengan konsep Nrimo ing Pandum atau dalam ajaran agama kita sering mengenalnya sebagai syukur.
Hingga saat ini para ilmuwan pun masih memperdebatkan tentang kebahagiaan itu sendiri. Ada berbagai teori yang mencoba menjelaskan tentang kebahagiaan mulai dari Rogers yang melihatnya hanya sebagai efek samping hingga ilmuwan-ilmuwan yang menganggap itu merupakan tujuan dari kehidupan. Penelitian-penelitian pun terus berkembang mencoba mendefiniskan kebahagiaan agar nantinya dengan temuan tersebut semua orang bisa merasakannya. To Have Happy or to be happy?
*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Isu-isu Kontemporer Psikologi Sosial
0 comments:
Posting Komentar