Sabtu, 06 Juni 2009

bermain odol


Dalam sebuah acara ajang pencarian bakat (sebut saja "endosan odol") di sebuah stasiun televisi swasta beberapa bulan yang lalu, terdapat sebuah hal yang menarik. Dua kandidat yang sejak awal paling dijagokan (sebut saja Aji dan Aris), ternyata salah satunya gagal mencapai babak final. Padahal kedua orang ini sejak awal disebut-sebut sebagai calon kuat finalis ajang tersebut. Akan tetapi apa boleh dikata (dan sebaiknya tidak usah berkata-kata), Aji telah tereleminasi sebelum mencapai babak final. Hal seperti ini juga telah pernah terjadi dalam sebuah ajang pencarian bakat sejenis (sebut saja "akademi frustasi endonesa") di sebuah stasiun televisi lainnya.

Dalam ajang ini memang bukanlah kualitas yang utama, tetapi popularitas. Tiidak penting apakah suara anda merdu bagaikan suara kecapi yang indah ataupun bagai mesin bubut, yang penting adalah seberapa banyak sms yang mendukung kontestan. Anda juga tidak harus seorang yang benar-benar memahami bahwa notasi # (kres) merupakan tanda menaikkan nada dan C adalah sebuah nada bukannya vitamin (bener gag ya?) yang penting adalah anda memiliki HP dan ada pulsanya. Itulah ajang popularitas.

Kini gantilah lagu musik dengan politik, SMS dengan DPT, dan kontestan dengan capres, maka anda akan temukan sebuah ajang pencarian bakat terbesar di negara ini. Tidak perlu anda memiliki jiwa kepemimpinan yang hebat dan keahlian dalam berpolitik, yang penting hanyalah anda memiliki dukungan. Dan anda tidak harus menjadi orang-orang yang peduli dan memahami negara ini, yang pentiing anda adalah warga negara ini. Anda juga tidak harus seseorang yang benar-benar memahami segala sesuatu tentang negara dan politik, cukuplah anda menjadi nasionalis musiman dan pengamat politiikus karbitan untuk dapat menentukan pilihan.

Apakah tulisan saya ini bermaksud merendahkan demokrasi? Tentu saja tidak karena apa yang saya lakukan adalah menjalankan demokrasi dengan menghinanya. Anggap saja aku memukul seseorang dengan palu lantas saya katakan,"itu karena aku peduli padamu." Tapi ntah juga jika sebagian orang beranggapan bahwa kritik itu sesuatu yang tidak sopan.

Apa yang saya lakukan hanyalah melanjutkan tulisan saya sebelumnya yang berjudul "seberapa hebatkah demokrasi?" (http://gagdongemail.blogspot.com/2009/01/seberapa-hebatkah-demokrasi.html) dan menngaiitkannnya dengan apa yang terjadi saat ini. Saya sendiri percaya bahwa konsep demokrasi secara garis besar adalah sesuatu yang bertujuan baik, akan tetapi saya masih kurang setuju dengan penjabaran demokrasi ke dalam hal-hal yang lebih spesifik.

Jika demokrasi diartikan sebagai kebebasan seseorang dalam mengeluarkan pendapat, maka yang perlu disoroti adalah:
1. bahwa terdapat juga kebebasan seseorang untuk tidak berpendapat
2. apakah pendapat individu tersebut adalah sesuatu yang tepat
3. apakah pendapat tersebut perlu dijalankan

Maksud saya pada poin pertama adalah memang seseorang memiliki hak untuk berpendapat, tetapi perlu disoroti juga bahwa seseorang juga boleh untuk tidak berpendapat. Mungkin orang tersebut merasa kurang ahli dalam hal tersebut dan memilih percaya kepada orang yang lebih ahli. Sebuah contoh nyata yang terjadi dalam pemilu legislatif kemarin adalah ketika saya mencontreng partai dan bukan caleg. Mengapa? Karena saya tidak mengenal caleg-caleg tersebut (merasa kurang ahli dalam hal tersebut) sehingga saya memilih untuk mencontreng partai dengan anggapan bahwa partai lebih tahu mana kadernya yang terbaik dengan segala kekurangannya (percaya kepada orang yang lebih ahli).

Poin yang kedua adalah seberapa tepat pendapat tersebut. Apakah pendapat seseorang yang belajar di psikologi tentang sistem ekonomi adalah sesuatu yang tepat ataukah sebuah pendapat ngawur? Apakah pendapat para nasionalis musiman yang hanya peduli pada negaranya mendekati pemilu adalah sesuatu yang benar? Maka itu perlu direnungkan kembali. Bisa jadi pendapat yang ada hanyalah pendapat ngawur yang dilanndaskan perasaan iseng dan berharap untuk diluruskan tetapi bisa juga itu adalah sesuatu yang benar. Karena kita telah memiliki kepala masing-masing maka berpikirlah.

Poin yang ketiga adalah apakah pendapat tersebut perlu dilakukan. Baiklah memang seseorang bebas untuk berpikir dan berpendapat, akan tetapi bukan berarti setiap orang bebas untuk bertindak dan berbuat. Bukan berarti setiap pendapat yang ada harus ditindaklanjuti dan dilaksanakan. Alangkah perlunya untuk dikaji kembali.

Inilah beberapa alasan mengapa saya lebih menyukai sistem pemilihan presiden pada orde baru (dipilih DPR MPR) dibanding pada masa reformasi (pemilihan langsung) dalam beberapa hal. Yang pertama adalah jika dipilih oleh DPR MPR maka saya yakin bahwa mereka yang bermusyawarah disana harapannya adalah orang-orang yang benar-benar mengerti dan memahami megara ini dan bukanlah politikus karbitan ataupun nasionalis musiman meskipun terkadang antara harapn dan kenyataan tidak memiliki korelasi positif yang cukup signiifikan, tetapi sacara sistem itu lebih tepat menurut saya (toh dengan pemilihan langsung juga tidak menunjukkan perbedaan hasil yang cukup signifikan). Yang kedua adalah apakah masyarakat memiliki kemampuan yang cukup dalam hal ini untuk (minimal) menngetahui mana yang baik dan mana yang buruk untuk Indonesia. Dan bagian yang terakhir adalah apakah pendapat masyarakat ini adalah sesuatu yang tepat dan perlu dilakukan untuk kebaikan bangsa ini ataukah tidak.

Semoga idola yang terpilih kali ini adalah orang yang benar-benar mampu dan bukan hanya sekedar populer. Amin.

3 comments:

Anonim mengatakan...

ini memang sedang wolak-walike zaman mas... semua serba diukur dari popularitas belaka, tanpa mempertimbangkan kualitas. lihat saja, hampir di semua bidang, nggak cuma di kontes2n. saya sependapat, negeri ini memang seharusnya dikelola dengan cara musyawarah mufakat.
sekarang yg paling sakti adalah SMS! untungnya saja, milih presiden nggak pake SMS

Vicky Laurentina mengatakan...

Perlu dipikirkan baik-baik, Pak Khusni, jika memang betul hendaknya bahwa presiden itu dipilih oleh para anggota DPR/MPR, maka anggota-anggota DPR/MPR itu betul-betul haurs oran yang kompeten dalam mewakili rakyat dan bukan hanya mewakili golongannya sendiri. Sekarang masalahnya para wakil rakyat itu sudah benar-benar mewakili rakyat atau belum? Kalau memang belum kompeten untuk mewakili rakyat, ya biarlah rakyat memilih presidennya sendiri ketimbang menyerahkan pilihannya kepada kucing dalam karung.

khusni mustaqim mengatakan...

@sukarnosuryoatmojo: tinggal tunggu waktu saja bang milih presiden pake SMS,, :)

@vicky laurentina: lantas apakah kita juga berkompeten??