Sabtu, 19 Maret 2011

Ada Apa Dengan Kita

Entah kenapa akhir-akhir ini seringkali kita mempertanyakan bangsa kita sendiri. Mengapa kita tidak seperti ini, tidak seperti itu, tidak bisa kayak ini, tidak bisa kayak itu. Dalam sekejap seolah seluruh hal yang ada di sekitar kita menjadi suatu hal yang sangat using dan menyedihkan. 

Kita menjadi memiliki hobi baru, yaitu mencaci maki bangsa kita sendiri. Mulai dari pemerintah yang dianggap korup (memangnya kita sebagai rakyat kita tidak?), kinerja (kita) yang buruk, kualitas SDM (kita) yang rendah, penjajahan oleh asing, kekalahan dibanding bangsa lain, disiplin hukum yang rendah, dsb. Kita mulai mencari-cari penyebab hal tersebut dan tentu saja, mulai dari mencari kesalahan orang lain. 

Ada beberapa teori dan asumsi mengapa hal ini terjadi. Mulai dari literatur buku-buku yang kebanyakan berbahasa Inggris dan penulisnya bahkan belum pernah menginjakkan kaki di negeri ini hingga obrolan masyarakat di tempat parkir. Mereka memiliki teori dan kemungkinan mereka sendiri-sendiri mengenai masalah ini.

Pemerintah yang Korup 
Salah satu alasan yang sering dijadikan kambing hitam mengenai hal ini adalah tentang pemerintahan yang korup. Pasca lengsernya Alm. Soeharto, KKN atau korupsi, kolusi dan nepotisme ditengarai menjadi penyebab bobroknya Negara ini. Hal ini dimulai dari krisis moneter tahun 1998. 

Padahal jika kita boleh jujur, krisis moneter tahun 1998 tidak disebabkan oleh korupsi melainkan karena memang dampak global. Korupsi hanya sekedar memperparah keadaan yang ada. Namun kejadian ini membuat masyarakat sadar bahwa apa yang seringkali kita lakukan dan menjadi budaya kita ternyata dianggap sebagai suatu hal yang tidak benar. 

Pasca runtuhnya orde baru muncul pula krisis kepercayaan terhadap instansi pemerintah baik ditingkat legislatif, eksekutif, dan yudikiatif. Terlepas dari apakah pemerintah tidak kompeten, munculnya krisis kepercayaan ini berdampak pada pelaksanaan program-program pemerintah yang tidak lagi mendapat dukungan dari rakyat. 

Mulai dari program konversi gas, redenominasi rupiah, dsb yang terus menerus disoroti dan mendapat kritikan. Efeknya adalah kini tercipta masyarakat yang tidak lagi mau diatur. Berbagai unjuk rasa mulai liar, aksi anarkisme dari berbagai kelompok kian menguat, dsb. Negara ini kian menjadi rimba raya. 

Namun pernahkah terpikir bahwa semua ini hanya merupakan akibat dari pemerintah yang tidak becus? Jika kita lihat lebih dalam lagi, ternyata ketidakbecusan tersebut terjadi secara merata hampir di tiap lapisan masyarakat. Yang melakukan korupsi dan malas bekerja bukan hanya oknum wakil rakyat tetapi seluruh rakyatnya pun demikian. Maka kita pahami bahwa masalah ini jauh lebih mendalam dari sekedar pemerintahan yang kurang kompeten.

Kualitas SDM yang Buruk 
Banyak yang berkata bahwa kualitas SDM Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Negara lain. Jika pada zaman dahulu kita bisa mengekspor para guru untuk mengajar di Malaysia kini yang dapat kita kirimkan kebanyakan adalah TKI untuk pekerjaan rendahan. 

Mulai dari etos kerja yang rendah, pekerjaan yang kurang beres. Dan sekali lagi yang menjadi sorotan utama adalah pegawai di instansi pemerintah alias PNS. Padahal jika mau jujur hampir di seluruh lapisan terjadi hal semacam ini. 

Selain pekerjaannya yang dianggap kurang becus, seringkali kita memberikan label pada bangsa kita sendiri dengan label bodoh. Kualitas pendidikan yang dianggap kurang mumpuni menjadi penyebab ini semua. Maka tidak heran kini berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah dengan gencarnya melaksanakan program apa yang mereka sebut sebagai kualitas internasional. Meski pada prakteknya yang internasional hanyalah bahasanya dan bukan kualitasnya. 

Namun belum ada satu pun referensi atau hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kecerdasan kita tertinggal dengan bangsa lain. Seringkali kita menjuarai berbagai lomba ilmiah tingkat internasional bahkan mengalahkan Negara-negara lain yang dianggap lebih maju. Jadi masalah utama yang kita hadapi bukan pada kualitas kecerdasan kita melainkan ada suatu hal yang lain. 

Penjajahan 
Seringkali kita mennganggap bahwa etos kerja kita saat ini dikarenakan kita telah dijajah 350 tahun sehingga terbentuk sebuah konstruk sosial dimana kita menjadi masyarakat bermental budak. Selain itu pemerintahann orde baru juga dianggap sebagai bentuk penjajahan baru yang memperparah kondisi ini. Namun benarkah demikian? 

Bahkan sejarah pun membuktikan bahwa kita tidak benar-benar dijajah selama 350 tahun. Karena penjajahan yang dimaksud pada saat itu bukan benar-benar penjajahan yang seperti kita bayangkan saat ini. Jika kita mau lebih memahami bahwa pada saat itu Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang berbeda-beda. Sebagian menjadi kerajaan yang berdaulat penuh sedangkan sebagian lain mengalami penjajahan dalam arti tertentu. Sehingga bisa jadi bukan penjajahan yang membentuk kita seperti ini.

Tidak Mau 
Satu pertanyaan yang patut direnungkan adalah sejak kapan kita menganggap kerja dan materi menjadi suatu hal yang penting? Jika kita mau memahami dalam budaya Jawa misalnya, bahwa sebenarnya budaya kerja bukan menjadi suatu hal yang pokok. 

Kita lihat saja dari adanya istilah-istilah nyambut gawe ojo ngoyo, mangan ra mangan kumpul, dsb. Ini menunjukkan bahwa kerja bukan bagian utama dari budaya Jawa. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa budaya Jawa menjunjung tinggi semangat kerja jika ketika kita bekerja keras justru disebut ngoyo. Ketika kita memiliki ambisi justru malah dianggap sebagai suatu hal yang aneh dan reko-reko. Bagimana kita bisa menghasilkan banyak uang jika membicarakan uang saja dianggap saru. 

Kontruk budaya Jawa berfokus pada budaya kekerabatan dan hubungan sosial. Berbeda dengan konstruk budaya modern yang berfokus pada kerja dan materi. Apa yang terjadi pada kita adalah kita dibesarkan dengan norma-norma budaya kekerabatan namun perkembangan memaksa kita utuk menelan nilai-nilai kerja dan materi. 

Sehingga negara ini tidak maksimal dalam mengadakan pembangunan bukan karena tidak mampu melainkan karena tidak mau. Bukan karena kita tidak pintar, melainkan karena belum ada rasa pentingnya bagi kita untuk mewujudkan pemikiran-pemikiran yang ada. Karena bagi kita kekerabatan dan hubungan sosial jauh leboh penting daripada sekedar kerja keras dan materi. 

Kerja hanya dianggap sebagai sarana memperoleh nasi dimana nasi sendiri menjadi suatu hal yang disepelekan. Begitu juga dimana mengejar materi juga dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan memalukan untuk dilakukan. Bukan karena kita tidak mampu melakukan semua itu, tetapi karena kita tidak mau. Kita memiliki kekayaan kita sendiri yang itu tidak terwujud dalam materi. Kita memiliki nilai-nilai dan apa yang kita anggap berharga berbeda dengan orang lain.

Bertindak Bijaksana 
Pernahkah terpikir seberapa cepat seorang petani mampu mengetik mennggunakan komputer? Ataukah seberapa banyak hasil panen dari sawah yang digarap oleh pegawai administrasi kantoran? Serahkanlah pekerjaan kepada ahlinya. 

Setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian masing-masing yang berbeda-beda. Begitu pula dengan tiap-tiap bangsa yang merupakan kumpulan orang-orang. Perlu waktu yang lama untuk mengajari seorang petugas administrasi bagaimana menggarap sawah. Namun lebih cepat lagi jika anda mengajari seorang petani bagaimana meningkatkan hasil panennya. 

Cara yang paling bijaksana adalah bukan dengan memaksakan orang lain melakukan sesuatu, tetapi menempatkan orang lain pada tempat yang tepat. Kita mengajarkan untuk menerima nilai-nilai kerja keras dan materi kepada masyarakat Jawa sama saja membongkar pondasi gedung bertingkat dan membangun dari ulang. Lebih bijaksana adalah kita melihat potensi yang ada dan mengembangkannya. 

Kini kita ada di persimpangan dua budaya yang sangat berbeda. Modernisasi menuntut kita mengubah nilai-nilai yang telah kita resapi dan tertanam dalam diri kita selama ini. Pertanyaannya adalah apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan membongkar ulang dan menelan nilai-nilai baru ataukah kita akan mengembangkan nilai-nilai yang telah kita miliki? Ini semua terserah pada kita sendiri.

*) ditemukan dari arsip lama di komputer dalam bentuk PDF, entah waktu itu saya tulis untuk perluan apa

0 comments: