Rabu, 23 Maret 2011

Pragmatisme dan Masalah

prag·ma·tis a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dng nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dng pragmatism 

Pragmatis seringkali dianggap memiliki konotasi negatif. Pragmatisme sering diidentikan dengan bentuk penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Penghalalan ini seringkali bertentangan dengan nilai moral, budaya, dan adat sehingga dianggap sebagai musuh bersama sebuah kebudayaan. 

Padahal pragmatis sendiri adalah suatu hal yang sifatnya netral. Tergantung sejauh mana pragmatis itu sendiri diterapkan dan dalam konteks apa. Pragmatis bisa menjadi positif, negatif, dan netral tergantung pada konteksnya. 

Dalam konteks tertentu misalnya, pragmatis dianggap sebagai salah satu unsur kebijaksanaan. Dimana dengan bertindak pragmatis kita dapat menyelesaikan sebuah permasalahan dengan tepat tanpa harus berbelit-belit. Misalnya cerita tentang astronot AS yang sibuk menciptakan ballpoint yang mampu bertahan di luar angkasa sedangkan para astronot Rusia cukup menggunakan pansil untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebuah contoh bentuk pragmatis yang bersifat positif. 

Bentuk lain dari pragmatis yang memiliki konotasi positif adalah efektif dan efisien. Efektif adalah sejauh mana langkah yang kita ambil sesuai untuk mencapai tujuan kita. Sedangkan efisiensi adalah rasio input dibandingkan dengan output dalam mencapai suatu tujuan. Semakin kecil input yang kita lakukan namun dapat mengeluarkan output yang semakin besar, maka semakin efisiensi-lah yang kita lakukan. 

Ketika pragmatis merupakan bentuk pengutamaan tindakan berdasarkan asas kemanfaatan maka pertanyaan berikutnya adalah kemanfaatan bagi siapa? Disinilah pragmatis berbenturan dengan nilai moral karena pada prakteknya yang dimaksud kemanfaatan adalah bagi individu atau kelompok pengambil kebijakan itu sendiri. Terlebih dalam budaya kita yang menanamkan untuk tidak egois dan selalu mengutamakan orang lain maka disinilah terjadi persinggungan yang keras terhadap pragmatis. 

Maka kini kita menghadapi sebuah dilema, ketika dunia menuntut kita semakin efektif dan efisien dalam bertindak maka pragmatis menjadi jalan keluar terbaik. Di sisi lain kita masih memiliki ikatan moral dan budaya, ikatan yang dianggap sebagai sebuah halusinasi dalam dunia yang menagung-agungkan logika. 

Efeknya adalah muncul kebijakan-kebijakan yang sifatnya efektif dan efisien, namun memiliki tingkat penolakan tinggi dari masyarakat. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang seringkali mudah diterima memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah. 

Maka kita harus membuka mata lebih lebar. Kemanfaatan tidak boleh hanya diukur dari segi individu ataupun kelompok tertentu. Ada sebuah tanggung jawab sosial dimana kita juga harus memikirkan kemanfaatan terhadap orang lain, bahkan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan diri kita. 

Kebijakan yang dilihat harus diambil dengan langkah pragmatis bersama, yaitu mengutamakan kemanfaatan bersama dan bukan hanya golongan tertentu. Jika ini diterapkan maka tidak ada lagi penggusuran PKL secara sepihak tanpa solusi yang kongkrit ataupun pemagaran wilayah-wilayah terntentu dengan dalih private space sementara banyak pihak lain yang juga memiliki kepentingan di daerah tersebut meski bukan pemilik legalnya. 

Kebijakan-kebijakan seperti ini memang terkesan kurang efektif secara langsung, tetapi memiliki asas kebermanfaatan dan nilai moral yang lebih besar. Hal ini mejadi penting karena moral merupakan warisan budaya berharga. Meski kini warisan ini mulai dilupakan karena dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan masalah.

0 comments: