Akhir-akhir ini kampus Gadjah tempat saya menimba ilmu sedang dilanda perseteruan. Bagai dunia persilatan yang penuh persaingan maupun dunia politik yang penuh intrik, satu sama lain saling menjatuhkan argumen satu dengan lainnya. Mulai dari diskusi-diskusi publik hingga debat kusir tanpa akhir, semua mempertahankan pendapat masing-masing dengan berbekal kepercayaan akan sebuah kebenaran dalam genggaman masing-masing pihak (lebay).
Intinya, kebenaran adalah tergantung pada kacamata yang kita gunakan. Kita akan selalu melihat kegelapan bila menggunakan kacamata hitam. Maka seharusnya kita saling bertukar kacamata untuk saling memahami, bukankah Tuhan menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenali dan bukan bermusuhan?
Pro
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (Al-Hujurat:12)
Lalu Lintas
Pengaturan adalah suatu keharusan. Itulah mengapa manusia cenderung menciptakan tatanan sosial agar tercipta aturan. Karena dalam hidup ini kita juga hidup dengan orang lain. Maka diciptakanlah aturan demi kepentingan bersama.
Begitu juga dengan wilayah UGM sebagai sebuah kampus yang terletak di tengah kota. Dengan semakin banyaknya penduduk Jogja dan kepadatan lalu lintas maka pengaturan adalah sebuah keharusan bukan hanya dalam lingkup UGM tetapi juga di level propinsi, nasional, maupun dunia.
Salah satu isu yang menyeruak saat ini adalah kepadatan lalu lintas. Bukan hanya dalam lingkup kampus tetapi ini menjadi masalah penting di tingkat propinsi karena kepadatan lalu lintas di Jogjakarta sudah mulai mengkhawatirkan. Maka wajar pula jika UGM mengeluarkan kebijakan pengaturan lalu lintas di wilayahnya salah satunya dengan kebijakan educopolisnya yang berusaha mengurangi kepadatan lalu lintas di wilayah kampus.
Kalau boleh jujur, ini cukup berhasil. Jika kita amati daerah sekitar Boulevard dan kompleks sosio-humaniora sudah cukup lenggang tidak sepadat dahulu sebelum kebijakan ini diterapkan. Maka saya pikir sudah tepat dengan adanya regulasi untuk mengatur kepadatan lalu lintas di UGM.
Keamanan
Saya ingat betul beberapa tahun lalu UGM bukanlah kawasan yang benar-benar ramah bagi masyarakat. Mulai dari mobil goyang di daerah lembah dan kompleks perumahan sosio-humaniora. Selain itu banyak terjadi pemalakan di daerah-daerah kampus yang rawan (misal sekitaran maskam). Parkir liar pun menjamur dengan tarif bisa berkali-kali lipat dari tarif normal. Hingga tawuran pelajar yang tidak jarang juga terjadi di lingkungan UGM sendiri.
Perlu diakui juga sejak diberlakukannya kebijakan ini mobil goyang, tawuran, dan pemalakan sudah mulai berkurang di sekitaran wilayah sosio-humaniora. Kampus menjadi relatif lebih tertib dan aman. Tawuran juga tidak sebanyak dahulu.
Di sisi lain parkir liar juga mulai menghilang. Dalam acara wisuda misalnya seringkali muncul parkir liar yang harganya bisa mencapai lima ribu rupiah. Bandingkan dengan sekarang dengan kebijakan ini hanya membayar dua ribu rupiah untuk mobil dan penjagaannya relatif lebih meyakinkan dibanding parkir liar yang biasa muncul.
Maka wajar jika sebagian pihak tidak keberatan dengan tarif yang diberlakukan karena menggunakan perbandingan keadaan sekitar. Seperti halnya yang dikatakan dalam teori deprivasi relatif dimana orang akan merasa adil atau tidak dengan cara membandingkan. Dalam hal ini para pengendara membandingkan tarif yang dibayarkan untuk memasuki wilayah UGM dengan tarif parkir. Dalam kondisi harga yang sama dan jaminan keamanan yang lebih meyakinkan (saya tidak mengatakan lebih baik) maka hal ini dianggap wajar.
Mahasiswa Bayar?
Salah satu argumen yang mengemuka adalah bahwa mahasiswa harus membayar untuk memasuki kampusnya sendiri, tidak adil bukan? Bukankah ini sama tidak adilnya dengan ketika saya mau ke Parangtritis saya harus membayar tiket masuk, membayar parkir, kamar mandi, dsb. Padahal saya sejak kecil lahir di Jogja dan punya KTP Jogja, kenapa untuk masuk ke pantai di daerah saya sendiri saya juga harus membayar?
Karena semua ada aturannya. Mahasiswa sebenarnya digratiskan dengan membuat KIK. Jadi siapa bilang mahasiswa membayar? Mereka yang membayar adalah mereka yang tidak memiliki KIK. Sama seperti halnya ketika kita tidak memiliki SIM kita juga harus membayar denda. Sehingga argumen menolak KIK karena mahasiswa harus membayar menurut saya kurang tepat.
Bagaimana dengan Tamu?
Salah satu alasan penolakan lainnya adalah bahwa tamu kampus juga harus membayar. Sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena UGM juga mengeluarkan kupon KIK gratis. Kupon ini bisa diperoleh di masing-masing fakultas (beberapa BKM di Gelanggang juga konon katanya memperoleh). Sehingga ketika meninggalkan kampus setelah urusannya selesai, tamu tersebut cukup menunjukkan kupon tersebut tanpa harus membayar. Jadi klaim tersebut untuk menolak kebijakan ini saya rasa kurang tepat.
Komersialisasi?
Salah satu alasan lain dalam penolakan KIK adalah karena dianggap sebagai bentuk komersialisasi. Saya pribadi kurang setuju terhadap hal ini. Selain karena definisi komersialisasi itu sendiri, tetapi juga karena saya sebagai mahasiswa psikologi melihat tarif disinsentif itu sendiri dengan cara berbeda (terlebih setelah mendapat penjelasan dari pihak pembuat kebijakan).
Insentif sendiri berarti perangsang atau penambah gairah. Sedangkan disinsentif adalah sebaliknya atau pengurang gairah. Dalam teori modifikasi perilaku (pendekatan behavioris) dikenal istilah punishment yaitu suatu bentuk konsekuensi yang diberikan atas suatu perilaku tertentu dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut.
Dalam hal ini tarif tersebut bukan dimaksudkan untuk mencari keuntungan (saya yakin UGM bisa lebih pintar dalam mencari uang daripada sekedar dengan uang parkir), tetapi agar perilaku masyarakat mondar-mandir di wilayah UGM dengan kendaraaan pribadi bisa berkurang. Syukur-syukur masyarakat kemudian beralih ke sepeda atau kendaraan umum. Hal ini sejalan dengan konsep educopolis yang bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan beralih ke kendaraan umum atau sepeda.
Kontra
Orang yang Berkepentingan
Satu hal yang membuat saya kurang setuju adalah bagaimana pihak pembuat kebijakan mendefinisikan pihak yang berkepentingan itu sendiri. Seringkali pihak yang berkepentinngan ini didefinisikan hanya sebatas tamu akademisi dan orang-orang yang berkepentingan dengan UGM sebagai sebuah institusi pendidikan. Menurut saya pendefinisian semacam ini sangat egois.
Padahal menurut saya mereka yang ke wilayah kampus hanya sekedar jalan-jalan, berolahraga, berwisata, dan sebagainya juga termasuk orang yang berkepentingan. Kepentingan dalam hal wilayah kampus sebagai wilayah public space yang kondusif untuk sekedar refreshing. Maka tidak seharusnya mereka ini dikenai tarif disinsentif.
Punishment
Jika memang itu tarif disinsentif sebagai sebuah bentuk punishment, maka pertanyaan berikutnya efektifkah? Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pro di atas, bahwa tarif tersebut tidak memiliki efek jera pada masyarakat karena tarif seperti itu telah dianggap biasa (toh di Jogja mau beli rokok sebatang juga harus parkir dahulu membayar seribu rupiah). Itu berarti bentuk punishment semacam ini tidak efektif.
Maka satu-satunya alasan atas keberadaan tarif tersebut telah gugur. Punishment semacam itu tidak efektif. Bisa saja berdalih dengan jika tanpa adanya tarif maka masyarakat yang tidak berkepentingan akan bersliweran dan usaha untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di wilayah UGM akan gagal.
Benarkah? Tidak juga. Karena keberadaaan portal sendiri sudah cukup menciptakan tembok psikologis dimana mereka yang tidak benar-benar berniat memasuki wilayah UGM akan menyingkir dengan sendirinya. Sehingga menurut saya keberadaan portal saja sudah cukup tanpa harus menerapkan tarif disinsentif.
Pengabdian
Tiga pilar utama perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian. Namun sayangnya pengabdian seringkali mengalami penyempitan makna menjadi sebatas KKN, proyek fakultas, dan sebagainya. Padahal ada satu hal yang bisa dilakukan UGM tanpa harus mengeluarkan dana yang cukup banyak yaitu menyediakan public space.
Di tengah pembangunan kota tanpa perencanaan dan public space yang memadai, keberadaan UGM sebagai sebuah ruang terbuka untuk umum tentunya akan sangat berarti. Kampus bukan hanya untuk mereka yang menuntut ilmu, tetapi juga untuk berbagi dengan masyarakat. Bukankah ilmu kita juga digunakan dalam masyarakat.
Pembatasan secara berlebihan dan menjadikan UGM sebagai ruang privat justru menjauhkan akademisi dari laboratorium sosial terbesar mereka. Terlebih di tengah kurikulum pendidikan kita yang semakin sibuk sehingga kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat semakin berkurang. Suatu hal yang kontras dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Membuka Mata
Mau tidak mau kita juga harus melihat dari kedua sisi. Di satu sisi adalah munculnya berbagai permasalahan yang menuntut diselesaikan sehingga memunculkan kebijakan. Kita tidak bisa menolak begitu saja suatu kebijakan dan mengabaikan permasalahan yang ada. Tetapi yang harus kita lakukan adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang ada tanpa perlu menimbulkan masalah baru.
Di satu sisi kebijakan yang dibuat pihak rektorat kurang memperhatikan faktor-faktor tentang good governance yang meliputi:
- Partisipasi: dimana seharusnya setiap kebijakan dibuat dengan partisipasi dari seluruh pihak dengan mengutamakan asas demokrasi dan kebersamaan. Yang terjadi justru rektorat menciptakan kebijakan tanpa pertimbangan pihak lain misalnya mahasiswa sebagai warga terbesar dan bahkan pihak fakultas sendiri (itu yang saya pahami ketika berbagi pikiran dengan dekan saya yang mengatakan tidak mendapatkan sosialisasi apapun). Perwakilan mahasiswa hanya diberitahukan sebagai sebuah bentuk sosialisasi dan dimintai pertimbangan, namun kelanjutannya mengenai penerapannya tidak jelas.
- Akuntabilitas: dimana setiap kebijakan yang ada seharusnya memiliki perhitungan-perhitungan yang rasional dan terukur. Tidak bisa begitu saja menciptakan suatu kebijakan tanpa perhitungan yang tepat.
- Transparansi: dimana ada kejujuran dari masing-masing pihak dan kontrol bersama atas kebijakan tersebut. Selama ini kurang adanya sosialisasi yang jelas atas kebijakan tersebut dan statement dari pihak-pihak terkait yang seringkali bertentangan. Ini menimbulkan munculnya rumor yang memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.
- Keadilan: dimana pemerataan kebijakan dan kesejahteraan bersama diutamakan.
- Landasan Hukum: adanya sebuah lanndasan hukum atas setiap kebijakan yang diciptakan.
Faktor partisipasi dan transparansi inilah yang menjadi masalah. Tidak adanya keterlibatan dalam pengambilan kebijakan dan transparansi akan kebijakan itu sendiri menyebabkan timbulnya penolakan. Kebijakan Educopolis ini baru setengah atau mungkin seperempat jalan. Perlu adanya kepastian rencana yang secara rinci atas penerapan kebijakan tersebut.
Tentu harus kita akui kebijakan tidak ada yang sempurna, selalu ada yang cenderung dirugikan dan diuntungkan. Tetapi yang utama adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat diterima semua pihak demi kepentingan bersama. Singkirkan ego dan emosi masing-masing, berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah yang ada.
Solusi
Bukan tentang sanggup atau tidak sanggup, bukan tentang bisa atau tidak bisa, mau atau tidak mau, tetapi tentang apakah kita mau melakukannya atau tidak, itulah moral. Pihak yang cenderung dirugikan pasti selalu ada. Tetapi bagaimana supaya kerugian itu tidak diderita oleh orang lain itulah pengorbanan. Jika kita mampu memberikan yang terbaik untuk kepentingan orang lain mengapa tidak?
Buntu
Pihak rektorat menginginkan bentuk penataan kampus yang ideal dimana masyarakat umum tidak lalu lalang begitu saja di wilayah kempus. Bentuk idaman ini seringkali diidentikan kampus UI depok, UII, UNY, dsb. Namun seringkali kita lupa bahwa kampus kita tidak sama dengan kampus-kampus tersebut. Sialnya (atau untungnya?) kampus kita tepat berada di tengan perkotaan sehingga menjadi jalur perjalanan.
Salah satu ide yang saya tawarkan adalah dengan menutup jalan-jalan di sekitar sosio-humaniora dan hanya membuka jalan dari arah bunderan UGM. Ini akan menciptakan jalan buntu sehingga masyarakat yang tidak berkepentingan akan menghindari jalan tersebut. Untuk kluster lain semisal teknik, hukum, dsb saya rasa telah menjadi jalan buntu yang dihindari masyarakat.
Kampus Bebas Kendaraan
Ide lainnya adalah dengan menerapkan peraturan pelarangan kendaraan bermotor memasuki portal-portal. Namun tentunya dengan konsekuensi bahwa pihak kampus menyediakan parkir gratis semisal di lembah atau semacamnya. Pelarangan ini bukan hanya sebatas tarif disinsentif namun kebijakan yang tegas. Mungkin bisa dimulai dengan pelarangan kendaraan roda empat yang kemudian dilanjutkan kendaraan bermotor roda dua dan tiga (kecuali kendaraan operasional kampus).
Kebijakan ini bukan hanya mengurangi kepadatan di wilayah kampus, tetapi dalam jangka panjang juga berdampak pada kebijakan transportasi di Indonesia. Kebijakan ini akan menciptkan budaya berjalan kaki dan bersepeda (tidak seperti saat ini jarak seratus meter pun menggunakan kendaraan bermotor). Bagi mereka yang gemar meneriakkan isu-isu lingkungan saya pikir ini seharusnya dapat diterima. Setelah budaya jalan kaki muncul, maka budaya penggunaan model transportasi umum pun akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Aku menjamin sebuah rumah di surga paling bawah bagi siapa yang meninggalkan debat meskipun ia benar, sebuah rumah di surga yang tengah bagi siapa yang meninggalkan dusta meskipun bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi bagi siapa saja yang berakhlak baik (HR. Abu Dawud)
Ada berbagai kebijakan yang bisa dipikirkan bersama. Mari kita berdiskusi bersama dan menghindari ego dan prasangka-prasangka buruk atas masing-masing pihak. Jangan berdebat dan mempertahankan kebenaran subjektif kita masing-masing, tetapi berdiskusilah untuk kepentingan bersama.